Stasiun Gambir masih seperti dulu,
ketika Andri menghantarkan Nisa untuk pergi ke kota Jogja, gedung berwarna
hijau, bangku-bangku panjang untuk menunggu, loket-loket kaca yang sedikit usang
karena usia dan beberapa tulisan papan jadwal keberangkatan.
Disana ia melihat dengan random kesegala arah, orang-orang yang sedang menunggu, orang-orang yang akan melepas kepergian dan orang-orang yang entah menanti siapa. Gambir masih menjadi tempat untuk meneteskan air mata, bahagia saat bertemu kembali dan sedih saat melepas kepergian.
Disana ia melihat dengan random kesegala arah, orang-orang yang sedang menunggu, orang-orang yang akan melepas kepergian dan orang-orang yang entah menanti siapa. Gambir masih menjadi tempat untuk meneteskan air mata, bahagia saat bertemu kembali dan sedih saat melepas kepergian.
Melepas memang tak mudah, berat dan berat.
Andri
pernah melepas, lalu menanti, kemudian kembali hingga benar-benar pergi lagi.
Tentu kegiatan ini sangat membuat perasaan menjadi capek, tak ada yang rela
melepas dan menanti, tak ada yang benar-benar kuat untuk melakukan hal itu
dengan baik-baik, jika pun dilakukan mungkin itu dengan perasaan yang terpaksa.
Ia kembali lagi, membawa sejuta
kenangan yang sudah lama mati, kenangan yang sudah dikubur dalam-dalam, tapi
hanya pada sebuah pesan singkat saja, kenangan itu muncul dari dalam kubur, menghantui
pikiran Andri, tak ada yang sulit untuk memutuskan keadaan ini, tapi logika tak
pernah mau mengalah.
“Ndri, aku sudah sampai di gambir,
jemput ya?” tulis Nisa pada pesan singkat.
Tak ada yang sulit untuk apa yang harus ia lakukan, setelah semua hal yang dahulu
penting, tentang hal yang tak lagi manis, tentang hal yang sudah dibangun
dengan rapih tapi tiba-tiba hancur begitu saja dengan sebuah permintaan, “aku
harus, pergi!” Seketika semua hal yang kokoh mudah saja runtuh dan hancur
berantakan tak berbentuk.
“Aku menuju kesana, Nis.” Andri
membalas pesan itu dengan antusias, padahal tak seharusnya ia melakukan hal
itu, tak seharusnya ia menemui sesuatu yang sudah pergi, bukan inginnya
kepergian itu, tapi Nisa yang memintanya.
Tapi
Andri tak seperti orang-orang lain, memang dia tak sama, ia tak pernah
menyimpan rasa dendam dengan seseorang lain, untuknya tentang masa lalu hanya
sebuah kumpulan kenangan yang belum pantas untuk dirapihkan, mungkin ada orang
lain yang pantas merapihkan kumpulan itu dengan baik. Sepanjang perjalanan
menuju stasiun terasa lama, biasanya tak selama ini, hanya tiga puluh menit
saja jika menggunakan motor, tapi entah kenapa kali ini terasa lama, mungkin
karena hal yang sudah berantakan dahulu, yang mempengaruhi laju motornya, tapi
tidak mungkin.
Ketika kepergian itu, ia tak lagi
berani mengunjungi gambir, jika harus terpaksa kesini, ia tak ingin masuk,
cukup menunggu di pelataran parkir saja. Memang kenangan mampu membuat pikiran
berubah menjadi tiga ratus enam puluh derajat. Kali ini ia tak berpikir seperti
itu, tanpa ada beban yang ia rasakan, ia berjalan setengah berlari, mencari
keberadaan Nisa. Pandangannya random kesegala arah, hingga pandangannya
terhenti pada seorang wanita, berambut dengan cepol, mengenakan celana jeans dan
perpaduan t-shit putih yang di sampul dengan blazer biru muda. Nisa tampak
berbeda, ia cantik dan lebih cantik.
“Nis.” Andri menyapa dengan nada
ragu, entah ia harus sedih atau harus bahagia ketika sudah bertemu kembali.
Sepertinya ia bahagia, memang tentang kembali mampu menghapus rasa pahit sedikit
demi sedikit.
“Ndri.” balas Nisa ragu, mata mereka
bertemu, pertemuan ini seperti sepasang kekasih yang dibentangkan oleh jarak
dan waktu yang lama, sehingga hal ini seperti pertemuan yang sangat langka,
seperti moment yang harus diabadikan dengan frame dan dipajang dikamar dengan
indah.
“Kamu, sama siapa?”
“Aku sendiri.”
“Nis, kamu apa kabar?” Andri
bertanya.
“Baik, kamu?”
“Baik,” ujar Adri, lalu ia
melanjutkan, “Yuk, aku bawain tasnya ya, kamu mau makan dulu, tempat biasa kita
makan, dulu.” ajak Andri.
Nisa
menjawab ajakan itu dengan cepat.
“Mau.” jawab dengan menyunggingkan
bibirnya.
Memang tidak ada yang salah, Andri
hanya ingin mengajak Nisa untuk makan dahulu, sebelum ia mengantarkan pulang,
tapi sebenarnya Nisa ada perasaan yang tak biasa, setelah pertemuan di stasiun tadi, entah kenapa perpisahaan yang
lebih dari lima ratus hari itu seakan membuat penglihatan Nisa berubah, jika Andri
masih pantas untuk ia cintai, mungkin Andri berpikir seperti itu juga, dan mungkin
juga tidak.
“Duduk, Nis.” Andri menarikan kursi
untuk Nisa.
“Makasih.”
Detak jantung Nisa semakin cepat, seakan
ada sebuah harapan, ia mulai mengingat-ingat ketika dahulu Andri ia kecewakan,
ketika ia acuhkan dan tak memperdulikannya. Ia mulai menyalahkan dirinya
kembali, entah hal apa yang tiba-tiba merasuki tubuhnya, hingga merubah
perasaannya menjadi sangat berbanding terbalik.
“Mbak, nasi goreng dua sama jus alpukatnya dua, yang satu
jangan terlalu pedas dan jangan terlalu asin ya nasi gorengnya” pesan Andri pada waiters resto.
Nisa hanya terkesima, mendengar
ucapan Andri, ia masih ingat betul apa yang disukai Nisa, masih ingat apa yang
sering Nisa pesan ketika sedang makan di resto ini, Nisa semakin yakin dengan
perasaan ini. Ia hanya menyunggingkan bibir kepada Andri.
“Nis, kenapa senyum-senyum?” tanya
Andri.
“Nggak apa-apa, Ndri. Hmm,
suasananya udah berubah ya?”
“Iya, aquarium yang disitu udah
nggak ada.” ujar Andri sedari menunjuk kearah sudut resto yang biasanya
terdapat aquarium berukuran sedang, didalamnya terdapat ikan-ikan mas, biasanya mereka
sering memperhatikan cara ikan berenang dan berinteraksi dengan teman-temannya,
lucu kata Nisa.
“Ndri,” panggil Nisa ragu.
“Hmm.”
“Kita terakhir ketemu kapan?”
“Lima ratus hari yang lalu, kenapa
Nis?”
“Lama ya, Ndri.”
“Iya, kalau waktu selama itu aku
buat nulis, paling udah dapet lebih dari lima naskah.” Andri membalas
sekenanya.
“Waktu selama itu bisa merubah segalanya
ya, Ndri?”
“Maksudnya?”
“Kalau aku pengen kita kayak dulu
lagi, kamu bersedia?” Nisa berkata pelan, seolah permintaan itu adalah hal yang
sulit, tapi sebenarnya memang sulit bagi Andri, tak ada seseorang yang rela menanti untuk
waktu selama itu.
Andri menyunggingkan bibirnya, tak
ingin menjawabnya dengan cepat, ia tahu seharusnya ia berkata apa kepada Nisa,
tak lama waiter datang sedari membopong pesanan diatas nampannya, kemudian
meletakannya dengan hati-hati diatas meja, seperti tak ingin memecahkan
keheningan diantara mereka.
“Makasih, mbak.” tutur Andri.
“Sama-sama, mas.”
Tanpa diperintah, waiter berputar
haluan dan kembali bekerja.
“Nis, aquarium disitu udah nggak ada
kan?” kata Andri.
Nisa menggangguk pelan.
“Kamu tahu kenapa udah nggak ada?”
tanya Andri.
Nisa menggelengkan kepalanya.
“Waktu yang membuatnya hilang, mungkin
dipindahkan dan mungkin juga sudah tidak baik lagi dipajang disitu.” jelas
Andri.
“Aku nggak bisa, Nis. Kamu nggak bisa
seenaknya datang dan pergi gitu aja, aku bukan dermaga yang kapan aja bisa kamu
singgahi dan kamu tinggalin gitu aja, aku punya rasa. Mungkin pertemanan lebih baik dari hal yang dulu, Nis.” kata Andri sedari
menyunggingkan bibirnya.
Nisa membisu, seolah semua kata yang sudah ia persiapkan terhapus begitu saja tanpa bekas, ia hanya menunduk sedari memutar-mutarkan sedotan didalam jus alpukatnya.
Memang, sesuatu hal yang sudah pergi
tak seharusnya dinanti untuk menempati ruang yang ia tinggalkan, adakalnya
harus ditutup, diberikan kepada seseorang lain.
Nisa tak ingin menjawabnya,
kesempatan ia memang sudah terlambat, pertemuan ini bukan harapan, Andri hanya
ingin menjadi seorang teman, bukan penanti harapan. Memang banyak orang sering
melepas lalu menerima kembali kepergian itu, lalu ia melepas lagi, lalu
menerima kembali. Memang banyak, tapi Andri tak seperti itu, kepergian pertama
sudah cukup, ketidakcocokan dalam menjalin hubungan bukan untuk dipaksakan,
tapi untuk diambil hikmahnya.
Andri bukan untuk membalas pergi, tapi ia
hanya membatasi rasa yang sudah lama hilang, karena sebuah pergi oleh Nisa.
***