Bulu mata foto by bisikanbusuk.com |
Dua minggu setelah bom yang
meledak di perpustakaan kota itu dan Milana yang tiba-tiba menghubunginya, Are
masih tak percaya dan mungkin saja ia salah dengan apa yang ia dengar dari
telfon itu. Sepuluh tahun Are tak mendengar suara lucu itu, sepuluh tahun juga
Are tak pernah sesumringah ini. Bayang-bayang suara misterius itu masih saja
melayang-layang dipikiran Are, mengisi semua sudut kenangan yang sudah lama
kosong.
Kali ini pembaca berita tak lagi
membacakan berita bertajuk teroris, melainkan berita hangat lainnya, tentang seorang
lelaki yang menggunakan bahasa intelek layaknya sarjana berluluskan ijazah S3.
Pemberitaan ini ternyata dapat mengalihkan isu teroris-teroris itu, tampak
jelas. Bukan hanya media televisi saja yang menyiarkan berita itu, media
sosial, radio dan beberapa Koran pagi pun menjadikan berita itu pada headline
news mereka. Are membiarkan televisi itu menyala, meninggalkannya sebentar
untuk pergi mandi, jam disudut mejanya menunjukan pukul sebelas siang, hari
ini ia berniat ingin mencari inspirasi lagi, mencoba menuliskan cerita-cerita yang mungkin akan muncul di kolom seni Koran mingguan, setidaknya kegiatan
positif ini bermanfaat untuk pembaca.
Baru setengah jam Are mandi,
tiba-tiba terdengar dari dering ponsel tuanya itu, terlihat dengan samar dilayar
ponsel nomor yang tak terekam di memori telfonnya, tak ada nama yang tertulis
disana, hanya digit nomor saja. Belum sempat panggilan itu dijawab olehnya, si
pemanggil sudah memutuskan panggilan. “Kalau penting nanti juga telfon lagi.” Batinnya
sedari meletakan ponsel tersebut diatas meja dekat televisi. Dengan mengenakan kaos
bergambarkan captain America berwarna putih dan celana jeans birunya, Are
bergegas pergi kesebuah toko buku kecil yang didalamnya terdapat kafe, tak lupa
ia membawa laptop tuanya itu. Are mengetahui tempat ini dari Twitter, jika di
ujung jalan yang mengarah ke kota ada sebuah toko buku kecil yang didalamnya
terdapat kafe, katanya selain menjual buku, toko buku itu juga menyewakan
buku-bukunya dengan biaya yang terjangkau, seperti yang disampaikan oleh pemilik
dari akun twitter resminya, jika koleksi buku-buku disana sudah mencapai empat
ribu lebih dengan bermacam-macam kategori yang sudah tertata rapi.
***
“Kenapa tak pernah terpikir
olehku jika ada sebuah toko buku unik disini.” Gumamnya dalam batin setelah
sampai pada pintu masuk.
Are melangkahkan kakinya dengan
pasti, disambut dirinya oleh wanita yang berdiri didepan meja yang diatasnya
terdapat monitor komputer, persis seperti pelayan kasir minimarket ketika
hendak menyelesaikan pembayaran belanjaan. Wanita itu memasang senyum manis,
senyum yang sepuluh tahun sudah tak pernah ia lihat, tapi wanita itu sungguh
tak sama seperti Milana, senyuman itu pun mengingatkannya pada perempuan lain,
perempuan yang sempat ia kenal di perpustakaan yang sekarang sedang direnovasi
karena telah di bom oleh orang yang tak bertanggung jawab. “Perempuan itu
kemana ya?” Are mulai mengkhawatirkan sosok yang sudah pergi itu.
“Selamat datang, mas. Selamat
menikmati koleksi buku-buku kami.” Wanita itu berkata dengan senyum yang masih
sama ketika pertama kali menyambutnya datang. Memang seperti itu bukan
seseorang karyawan toko buku menyambut calon pembelinya, dengan sebuah senyuman.
Are menggangguk sedari
menyunggingkan senyum kepada wanita itu. “Rak buku fiksi disebelah mana mbak…Tarisa?” Tertulis nama Tarisa yang menempel disisi sebelah kiri sejajar dengan
saku.
“Disebelah rak buku komik.”
Wanita itu memberikan petunjuk sedari menunjukkan arah dimana rak buku yang
dimaksud berada.
“Terimakasih mbak, Tarisa.”
Wanita itu hanya menggangguk dan
kembali tersenyum. Kemudian Are menuju rak buku yang ditunjukan oleh wanita itu,
rak-rak buku yang tertata rapi membuat kesan yang nyaman saat sedang membaca
beberapa halaman buku, terlebih lagi disudut lain dalam ruangan terdapat kafe
yang menyediakan beberapa minuman dan makanan ringan, Are masih mencari buku
yang ia cari. Sebenarnya ia tak benar mencari sebuah buku, ia hanya mencoba
membaca beberapa buku yang menurutnya bagus, mungkin saja dapat menginspirasi setelah membacanya.
***
Disela-sela ia mencari buku,
terlihat samar dari celah buku-buku yang tersusun, seorang wanita yang
mengenakan shall bermotif warna
belang, ditanganya ada buku yang terlihat dari body language seperti sangat serius membaca tulisan yang
tertulis entah dihalaman berapa. Wanita itu tampak seperti Milana, Are pernah
melihat Milana mengenakan shall yang
bermotif sama, apalah arti sama jika orang yang mengenakan itu tidak sama. Tidak semua hal sama harus disama-samakan dengan yang sudah pergi bukan?
Wanita itu terlihat lebih serius
dari yang tadi, seperti menikmati tiap halaman yang tertulis disana, Are pun
penasaran, mencoba mendekatinya, mencari tahu apa yang sedang wanita itu baca.
Setelah berputar menuju rak buku yang sama tapi disisi yang berbeda, sekarang
wanita itu ada disampingnya, masih membaca dengan serius tulisan yang ada
dihalaman buku itu. Sepertinya wanita itu membaca novel fiksi, apalah aku ini
menebak-nebak yang sudah memang benar buku itu adalah novel fiksi. Batin Are.
“Novel LDR ya?” Are membuka
perbincangan.
Wanita itu tak cepat menanggapi
Are, masih serius dengan buku yang sedang ia baca.
“Lagi ngejalanin LDR?” Are masih
bersikeras mengajak wanita disebelahnya untuk berbincang.
Wanita itu berhenti dan menutup
bukunya yang sudah ditandai dengan pembatas buku, lalu menoleh kepada laki-laki
yang sedari tadi mengajaknya berbincang.
“Nggak semua hal yang dibaca
pernah dialamin.” Wanita itu membuka suara dengan nada seperti ragu.
“Nggak semua pertanyaan harus
dijawab dengan serius kan.” Balas Are.
“Kamu siapa sih, kok nyebelin.”
“Mau tahu juga sama cowok yang nyebelin?”
Are masih memilih-milih buku. Lalu Are melanjutkan, “Aku Are.” Ia mengulurkan
tangan, berharap dapat berjabat tangan dengan wanita itu.
“Are? Kayak nama kucingku
dirumah.” Jelas wanita itu menjawab dengan mengejek. “Aku Milany.” Wanita itu
membalas jabatan tangan Are. Seketika sentuhan itu mengingatkannya kepada Milana,
kepada senja yang pernah menemani pertemuannya dengan Milana.
“Are, kamu nggak apa-apa kan?”
spontan Are melepas sentuhan tangan itu dari ingatan lalunya. “Ngobrol disana mau nggak? Gue traktir
kopi deh.” Are menawarkan.
“Boleh, yuk.” Are membawa buku
yang berjudul cinta bertepuk sebelah tangan, entah kenapa hatinya ingin membawa
buku itu untuk dibaca, mungkin karena kisah lalunya, mungkin juga sedang ingin
membaca kisah pahit, bisa jadi endingnya tidak terlalu pahit seperti kopi hitam
tanpa gula.
***
Mereka berjalan beriringan,
Milany sempat membawa buku LDR yang ia baca, tampaknya ia benar-benar sedang
menjalin hubungan yang bertaruh dengan jarak itu, mungkin saja Are salah
menebak, mungkin saja benar, entahlah. Meja-meja kayu ditata menyerupai kafe
dan beberapa lampu yang tak bercahaya terang sebagai penerangnya menambahkan
kesan cozy. Membaca buku sambil duduk
menikmati kopi, tentunya belum banyak yang memadukan toko buku yang didalamnya
terdapat kafe, ini seperti teknik marketing yang bagus.
coklat panas foto sendokgarpusumpit.files.wordpress.com |
Tak lama setelah mereka duduk,
pramusaji datang dengan membawakan selembar menu dan selembar kertas untuk
mencatat pesanan.
“Kamu mau pesen apa?” Are
bertanya.
“Coklat panas aja deh.”
“Oke.”
“Mas, Coklat panas sama kopi
hitam ya.” pesan Are kepada pramusaji, tanpa perintah pramusaji mencatatnya
diselembar kertas yang ia bawa.
“Ada lagi mas?” tanya pramusaji
sebelum meninggalkan meja mereka.
“Udah itu aja, mas.”
“Baik kalau tidak ada, ditunggu
pesanannya akan segara saya antar.” Pramusaji meninggalkan meja mereka.
Setelah pramusaji meninggalkan
meja mereka, belum ada kalimat yang terucap dari keduanya. Lalu setelah hening
beberapa detik, Are membuka obrolan.
“Apa yang unik dari hubungan yang
betaruh dengan jarak itu sih?” Are bertanya, seolah ia benar tidak mengetahui
apa yang unik dari hubungan yang melebihi lebarnya sebuah penggaris.
“Mana aku tahu.” Milany menjwab
dengan nada jutek.
“Kalau nggak tahu kok jawabnya
nggak santai gitu sih?” Are mengejek. “Bukannya pacaran yang bertaruh dengan jarak
itu rentan kandas ya?” Are masih bersikeras bertanya.
“Nggak juga!” Milany masih
menanggapi Are dengan nada juteknya.
“Nggak juga?” Are kembali
bertanya, “Berarti ada juga kan?” Are melanjutkan.
“Apa yang kamu tahu tentang LDR?”
Milany balik bertanya.
“Perpisahan dan perpisahaan.”
“Perpisahaan aja? nggak ada yang
lain?”
“Apa? Patah hati? luka hati? Atau
sakit hati?”
“Sakit hati!” balas Milany cepat.
“Kamu abis gagal ngejalin
hubungan LDR?” Are bertanya.
Tak lama, pramusaji datang
membopong nampan lalu meletakan dua cangkir yang berisi coklat panas dan kopi
hitam dengan hati-hati diatas meja, seolah tak ingin memecahkan keseriusan
mereka dalam berbincang. Meja-meja disekitar mereka yang tadinya kosong
sekarang sudah berisi dengan beberapa orang yang berpasangan, mungkin pacar,
mungkin juga teman, ada juga yang sendirian duduk sedari membaca buku dan ada
pula yang sedang serius berkutat dengan laptopnya.
***
“Minum, Mil.” Milany menyeruput coklat panas
yang diatasnya masih mengepul panas, dengan hati-hati ia menikmati seruputan demi
seruputan.
“Kamu sendiri, cintanya lagi bertepuk
sebelah tangan?” Milany menyeletuk.
“Oh, ini.” Are melihat judul buku
yang ia bawa, novel cinta bertepuk sebelah tangan, bukannya tidak ada yang spesial dari
orang yang tak memperjuangkan cinta dengan sungguh-sungguh, bukankah cinta harus berjuang bersama,
bukan hanya satu pihak atau satu hati saja? Atau cinta harus ada yang tersakiti
dulu barulah bahagia akan muncul dari sembunyinya? Are tak mengerti lagi, cinta
bertepuk sebelah tangan itu sepertinya jatuh cinta sendirian, bedanya ia sudah tahu
orang itu mencintainya walaupun hanya sebentar.
kopi hitam foto tengil1ismyname.files.wordpress.com |
“Iya, Lagi patah hati mas?”
Milany mengejek.
“Apa itu patah hati?”
“Hati yang patah, kemudian
berserakkan bahkan berceceran entah kemana.” Jelas Milany.
“Berarti kita adalah orang yang
sama-sama patah hati, jangan-jangan kita jo…”
“Jomblo.” Milany memotong.
“Hahaha.” Are tertawa lepas.
“Kopi hitam dan novel cinta
bertepuk sebelah tangan, perpaduan yang pas untuk hati yang sedang sendu.” Jelas Milany.
“Analogi yang bagus.”
Milany mengingatkanya kepada
Milana, tapi dengan versi yang berbeda, Milany tidak melukis senja, tidak pula
menunggu. Sedangkan Milana selalu melukis senja dan sekarang masih melukis
senja, untuk laki-laki lain. Tapi tidaklah mungkin Milana memiliki saudara
kembar, tapi mungkin juga. Are tak berniat bertanya tentang itu, ketika masa
lalu sudah berlalu, apakah masih ada hal penting yang harus ditunggu. Tidak kah
waktu akan terasa sia-sia menunggu yang sudah pergi berlari, dan mengacuhkan yang sudah lama menanti, seseorang lain dimasa depan. Sepertinya
setelah pemberitaan teroris, pengalihan isu teroris dengan laki-laki yang
berbicara dengan bahasa intelektualnya tapi tidak tepat dengan penempatannya
dan wanita yang ia kenal di perpustakaan kota itu. Sepertinya Milany adalah
inspirasi untuk Are, untuk menulis sebuah cerita lagi, tapi bukan seseorang yang
melukis senja melainkan wanita yang melukis masa depan.
Are membuka buku yang belum sempat ia baca, di halaman dua puluh tiga, ia mendapati bulu mata lagi, seperti di buku yang ia pinjam oleh wanita yang beberapa waktu lalu ia kenal di perpustakaan kota, entah ini akan sama atau mungkin hanya perasaan saja. Tapi senyuman Milany merubah hal mindest negatif Are. Are menutup lagi buku itu, lalu tersenyum kepada wanita yang sedang berada satu meja dengannya, tepat didepannya.
Sambungan dari sini http://www.bisikanbusuk.com/2013/09/cerpen-bulu-mata-seorang-perempuan.html
Sambungan dari sini http://www.bisikanbusuk.com/2013/09/cerpen-bulu-mata-seorang-perempuan.html
1 Komentar
makasih banyakMas, udah bunuh rasa penasarannya. hehe.
BalasHapus