Aku masih saja menghabiskan waktu untuk menantimu, duduk di
teras rumah sedari menikmati secangkir teh manis hangat. Ya, biasanya jika tak
sedang sibuk, kau selalu sempat menyeduhkanku secangkir teh hangat. Biasanya
juga setelah kau menyeduhkannya, kau menyempatkan diri untuk duduk berdampingan
bersamaku, berbincang ringan hingga sore berubah menjadi petang. Dan setelah
petang tiba, kau mengajakku untuk berbincang bersama, duduk berdampingan di
sofa yang menghadap ke televisi. Ya, semua hal itu sekarang sudah seperti mimpi
untuku, kau sudah tak ada lagi di sana.
Aku masih ingat pertama kali mengenalmu, waktu itu aku tak
sengaja pergi berlibur di kebun binatang, kau pun bertujuan sama, berlibur. Aku
mengenalmu karena sebuah keisengan, aku menghampirimu dan langsung mengajak
kamu berbincang, satu kalimat yang mungkin masih kau ingat. “Hei, gue Yuda.” Ucapku
sedari mengulurkan tangan dan tersenyum tipis kepadamu. Tapi kau tak cepat
menyambar uluran tanganku, kau seperti bingung, aku dapat membaca gambaran
wajah itu, wajah terlihat canggung dan bingung, seperti memikirkan sesuatu hal
aneh terhadap laki-laki yang ada di depanmu.
“Hei, gue Azka.” Balasmu singkat dan datar. Aku membalas
tersenyum lagi kepadamu, entah kenapa aku membicarakan hewan koala yang hinggap
pada sebuah batang pohon, dan tiba-tiba kau tertawa lepas, entah karena aku
atau karena sesuatu yang aku bicarakan tentang koala itu, tapi setidaknya aku
berhasil membuat kau tak menganggapku asing lagi.
Kau tampak lucu dengan senyum tipismu itu, aku lagi-lagi tak
mampu menepis guratan senyum itu.
“Lo sama siapa, Azka?” aku bertanya.
“Sendiri, lo sendiri?” Azka membalasnya dengan tersenyum,
tak lagi dengan wajah datar, mungkin karena efek guyonan tentang koala tadi,
mungkin juga karena aku terlihat lucu. Aku tersenyum dalam hati, entah
bagaimana bahagianya memuji diri sendiri.
“Berdua.” Kataku singkat. Dia tampak bingung, entah apa yang
sedang di pikirannya, mungkin dia memikirkan, wanita mana yang terpaksa pergi
bersama laki-laki yang selera liburannya hanya pergi ke sebuah kebun binatang.
“Sama siapa?” dia bertanya, sekarang kami tak lagi
memandangi koala, kami memposisikan tubuh berhadap-hadapan sedari bersender di
pembatas besi yang tingginya sedada.
“Sama lo.”
Kau hanya tersenyum, lagi-lagi kau tersenyum, entah apa yang
ada di pikiranku saat ini, tapi senyumanmu seperti candu untukku, akhirnya aku
memberanikan diri untuk meminta nomor telfonmu, beralasan akan ada pertemuan
lagi setelah ini, awalnya kau tak ingin memberikannya, tapi entah bagaimana
permintaanku tentang ini tiba-tiba dapat kau percaya. Mungkin kau masih
mengingatnya, atau mungkin kau sudah melupakannya.
Hal lain yang masih aku ingat, waktu itu kau pernah
memintaku untuk mengantarkanmu pergi ke suatu tempat, tapi karena tergesa-gesa
aku lupa meletakan jas hujan di dalam jok motorku, dan cuaca sudah mendung
sebelum kita pergi, benar saja di perjalanan hujan turun dengan lebat, belum
sempat mencari tempat meneduh, kita sudah basah kuyup.
Akhirnya kita tidak jadi
pergi ke tempat itu, mungkin kau masih ingat, waktu kita berteduh, aku
mengenakan jaket baseball waran cream yang di depannya ada gambar doraemon,
meskipun jaket itu sedikit lusuh tapi setidaknya sudah dapat menghangatkamu
malam itu, kau sempat menolaknya, kau bilang. “Mending jaketnya di ujan-ujanin,
biar kita sama-sama kedinginan.” Aku tahu ini tentang kebersamaan, tapi bukan
seperti itu. Lalu aku membalasnya. “Kalau jaketnya di ujan-ujanin, kita sakit,
terus siapa nanti yang nyuapin bubur kalau kita sama-sama sakit, terus nanti
yang ngelus-ngelus kepala kamu siapa kalau akunya sakit.” Kami terenyak dalam
hening malam, hujan malam itu cukup lama, lagi-lagi kami terlena dalam riuh
hujan. Dan kecupan itu yang mendarat tepat pada bibirku, mungkin kau sudah
melupakannya, atau mencoba melupakannya.
Apalah aku ini, menuliskan setiap moment yang pernah kita
alami. Dan akhir-akhir ini aku menyadari, kau seperti sebuah benang kusut, aku
mencoba untuk mengulurnya agar dapat digulung dan tak menjadi kusut lagi. Tapi
setiap bagian yang kusut sangat sulit untuk di ulur lagi, malah jika dipaksakan
akan putus, dan pelan-pelan aku mencoba mencari celah pada benang itu, hingga
akhirnya aku tersesat pada sebuah persimpangan, sebuah jalan ilusi menuju
hatimu. Kau sudah meninggalkanmu dan pergi bersamanya, karena sebuah ketidakcocokan
yang kau bilang setelah hubungan ini berjalan dengan lama. Ya, aku percaya jika
waktu telah berubah, dan perasaanmu kini pun sudah berubah.
0 Komentar