Malam itu seorang teman cerita kalau akhirnya putus lagi, dia putus lagi setelah ketidakcocokan yang sebenarnya adalah ketidakmauan mereka buat nyocokin ketidakcocokan itu, setelah bercerita banyak gue cuma bisa ngangguk-ngangguk sambil nyemilin nastar dan kue kembang bulan dengan beringas. Dia (Seorang teman) bercerita banyak kenapa bisa putus, seperti selayaknya gue seorang teman yang memiliki wajah tampan, gue mulai menasehatinya.
“Akhirnya gini, orang yang lo banggain pada akhirnya lo jelekin kan, gue udah nggak kaget.” Gue berkata sok keren.
Seorang teman cuma menanggapi gue dengan terkekeh.
“Jadi sekarang gimana bro?” gue bertanya, seolah calon masa depan gue udah mantap dengan gue.
“Insyaallah Februari,” katanya lirih.
“Februari, sama siapa?”
“Sama si Yaris.”
“Yaris?” gue mengulang kata itu, kata yang beberapa bulan lalu ngebikin rasanya kopi hitam tanpa gula jadi pahit, kata yang ngebuat seorang teman mengucap kata itu dengan penuh kecewa, dan kata itu dicupin lagi dengan kalimat yang manis, seolah pahit yang pernah ada luntur gitu aja karena sebuah tangis yang entah benar akan berubah atau cuma sebuah pencitraan.
Lalu gue melanjutkan.
“Gue sih sebagai temen support lo aja, yang penting sekarang lo harus tahu apa yang lo pilih ini bener nggak salah lagi.” Gue berkata bijak.
“Iya bro, thanks ya.”
Gue membalasnya dengan tersenyum dan melempar pandangan kearah teman lainnya.
“Gimana sama yang empat tahun?” gue membuka topik lain pada forum itu.
“Baru kemaren putus..,” balasnya singkat sambil menyeruput kopi hitam yang mungkin terasa semakin pahit karena abis putus.
“Kok bisa?” kata gue, mungkin pertanyaan ini udah klise.
“Biasa nggak cocok..,” jelasnya singkat.
Seorang teman yang abis balikan juga ngerespon dengan nada kaget, bagaimana dua orang yang berbeda jenis kelamin ini mencocokan kecocokan mereka pada fase PDKT dan kemudian setelah waktu yang lebih lama dari PDKT itu, fase dimana keduanya saling mengenal lebih jauh dan memantapkan pilihan pada tujuan akhir malah udahan, seolah waktu selama empat tahun mudah gitu aja disiram dengan kalimat, “Aku mau putus, kita udah nggak cocok.”
Akhirnya seorang teman malam itu cuma bisa gue kasih support lagi jadi lebih baik, fungsi seorang teman kan seperti itu, memberikan masukan dan dorongan agar teman lainnya menjadi lebih baik, bukan saling show off tapi nggak pernah mau ngajarin.
Seorang teman yang abis putus ini selalu menyambung-nyambungkan kegalauannya dengan berbagai hal, kayak pas lagi makan nastar kayak lagi ngeliat mantan, lagi minum kopi kayak ngeliat mantan, untung lagi nggak liat T41, ntar dikiranya kayak mantan. Tapi sebenernya mantan adalah orang yang terbaik bagi kita, dengan adanya mantan kita dapat menjadi yang lebih baik lagi sekaligus bisa show off dengan tanpa adanya dirinya kita masih bisa.
Beberapa waktu yang lalu gue sempat menjalin silahturami dengan seorang yang pernah ada dulu, niat baik kadang selalu dibalas dengan niat buruk, yah namanya juga idup. Mungkin menjalin komunikasi dengan baik dan saling menyapa adalah hal yang wajar bagi warga Negara yang baik, tapi malam itu gue sangat menyesal udah mencoba memberikan waktu yang berarti untuk orang yang nggak berarti.
Gue selalu menggunakan mindset positif, mungkin setelah lama nggak ketemu, banyak perubahan yang terjadi, tapi ternyata masih gini-gini aja. Masih sama sejak dua tahun terakhir, masih sama semua hal yang menyebabkan keputusan dulu untuk kita saling sendiri-sendiri aja. Karena hal ini gue sangat menyayangkan sekali ketika ada seorang teman yang memilih untuk balikan dengan mantan, karena kenapa? Balikan sama mantan bukan bikin hidup jadi nyaman, tapi malah jadi runyam.
Mcdonalds malam itu menjadi saksi setelah semalaman gue memberikan motivasi kepada seorang teman yang abis putus itu, berharap dia mendapat orang yang lebih baik lagi setelah pacaran empat tahun tapi hanya luka yang dia dapati.
“Jangan balikan, nyari cewek itu gampang, sekarang gimana lo bikin orang yang udah ngebuang lo itu jadi nyesel.” Gue berkata sok bijak.
Dia cuma ngangguk-ngangguk sambil melempar pandangan kearah lain.
“Jangan galau, mantan itu penyemangat, ketika udah pergi, waktunya lo bisa jadi lebih baik, lakukan apa yang nggak pernah lo lakuin.” Kata gue lagi sotoy.
Setelah gue memberikan wejangan mahadahsyat, support yang nggak ada abis-abisnya itu, beberapa minggu setelah itu dia pamer ke gue, katanya lagi mau dating sama cewek, bukan 1 atau 2, tapi ada 3 cewek yang ada jadwal dating sama dia, bikin gue shock. Gue sebagai teman ngerasa bangga, bukan bangga karena dia jadi playboy, tapi bangga dengan kemauan untuk pindah dari orang lain ke orang baru, meskipun masih nyari yang cocok.
Kalau kita bisa pindah ke tempat yang lebih baik, ngapain harus bertahan pada tempat yang udah mulai sempit, pindah itu mudah, yang susah adalah ketidakmauan kita untuk pindah. Penyesuaian setelah pindah juga gampang kalau semuanya udah flow.
Mungkin seandainya seorang teman yang udah pacaran empat tahun ini nggak mau pindah waktu itu, sekarang udah nyesel, nyesel nggak bisa ngelihat kalau di depan mata dia masih luas, bukan cuma satu titik. Gue sendiri bakalan nyesel kalau waktu itu, dua tahun yang lalu, kalau gue nggak memutuskan untuk pindah, mungkin gue bakalan kayak gitu-gitu aja, terlalu takut buat nyari zona lain.
Dan nyesel nggak dapet apa yang udah ada didekat gue sekarang.
Pindah itu pilihan.
6 Komentar
kadang kita harus rela ninggalin comfort zone buat pindah ke tempat baru, awalnya emang ga comfort tapi gw yakin tempat baru pasti lebih baik dari tempat lama.
BalasHapuskentangnya sayang tuh, bungkus aja bro :D
Ini udah gue bungkus, yah mental anak kos :D
HapusPindah itu pilihan, Move on itu Jawaban, dan Pacar baru adalah solusi terdepan.
BalasHapusKeren!
HapusKalau yang lama udah gak nyaman dan kita dibuang terus kita menemukan yang nyaman bahkan menerima kekurangan, kenapa harus terus diam di tempat? iya gak sih?._.
BalasHapusnah ini, pintar. segera move on. btw ini gue balas di 2020 :D
Hapus